Satpol PP Jadi Momok










































TEMBOK-TEMBOK jalan Jakarta tidak lagi bisu. Sebagian dinding kosong jalanan itu seakan berbicara melalui goresan murai maupun grafiti yang mengisyaratkan pesan sosial dari para pelaku street artatau seni jalanan.

Meski kerap berbenturan de- ngan aparat, para pelaku seni jalanan itu tetap mcngekpresikan karya

mereka melalui seni lukis dinding atau seni murai serta grafiti, yang berisi pesan moral untuk menggugah kesadaran masyarakat. Pesan sosial yang tergores di tembok-tembok kosong Jakarta disampaikan secara santai dan kocak, sehingga diyakini akan menjadi media ampuh dalam upaya membangun kesadaran masyarakat.

Jika menclisik ke belakang, seni jalanan identik dengan seni underground yang lebih dari puluhan tahun silam. Akan tetapi, seni jalanan yang lahir pada tahun 1980-an di New York lebih tepat ditujukan pada grafiti atau bentuk seni rupa jalanan lain seperti stensil, stiker, poster, dan lain-lain.

Sedangkan murai dalam beberapa referensi perkembangan seni jalanan tak memasukkannya dalam kategori tersebut. Sifat murai, yang penuh ketelitian dalam pengerjaannya, memunculkan kesan sempurna yang berbeda dengan grafiti atau bentuk seni jalanan lain yang sifatnya cepat digores-kan pada tembok dan cenderungmenggunakan cat semprot atau piloks.

Oleh karena itu, timbul kesan bahwa grafiti atau stensil sering dianggap kegiatan yang mengotori wajah kota. Jadi, tidak heran jika setiap aksi kelompok grafiti biasanya harus berurusan dengan Satpol Pamong Praja (Satpol PP).

Berbenturan dengan aparat

Aparat adalah momok para pelaku seni jalanan. Seorang seniman jalanan ternama di Jakarta yang menamakan diri Popo pun membenarkan hal itu. Awalnya, Popo bersama rekan-rekannya memilih sembunyi-sembunyi untuk membuat karyanya. Setelah terbiasa berbenturan dengan aparat, akhirnya Popo memilih jalan terbuka dan mengedepankan negosiasi jika harus berhadapan dengan petugas yang melarang mereka.

Popo menceritakan pengalaman lucu sekaligus menyesalkan dirinya ketika harus berbenturan dengan aparat. Ketika sedang asyik menggambar, Popo dkk kepergokdengan petugas Satpol PP. Tanpa mau bernegosiasi, petugas itu langsung meminta denda sebesar Rp 50.000 sekaligus menyita seluruh perlengkapan milik Popo dkk.

"Tanpa berdialog, mereka langsung mengambil tindakan konyol. Ha) demikian merupakan sebuah tindakan yang tidak berpendidikan. Udah ngambil alat kami, mau ngejarah duit lagi," ketus Popo.

Menurut informasi, perkembangan komunitas grafiti di Jakarta juga kian menggeliat seiring dengan referensi visual yang mudah didapat dari internet, buku-buku terbitan luar negeri yang menjamur, pun dari hasil diskusi dengan sesama komunitas dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bandung yang lebih dulu memulai kegiatan ini sejak tahun 2.000-an.

Setelah melakukan pembelajaran panjang seni jalanan secara otodidak, Popo pun mulai serius melakoni kegiatan seni jalanan sejak 2002.

Yang membedakan karya Popo dengan pelaku seni jalanan lainnya adalah desain unik dan berciri khusus. Di setiap karyanya selalu terselip nama POPO, yang berciri khas gambar menyerupai r"obot dengan kedua mata yang terbelalak. Hal itu dilakukan agar publik mudah mengingat bahasa gambar yanghcndak dikomunikasikan-nya.

Menurut Popo, yang juga berprofesi sebagai dosen komunikasi visual di sebuah perguruan tinggi swasta, istilah POPO merupakan sebuah karakter yang mewakili dirinya sendiri atau simbol untuk mengungkapkan sesuatu dalam bahasa visual. Karakter yang di mainkannya bisa menjadi bentuk apa saja, mulai dari manusia, robot, hewan atau sebuah profesi tertentu.

"Sebenarnya itu bukan robot, tapi representasi diri sekaligus menjadi simbol atau karakter tokoh yang saya mau ceritakan. Kalau ada yang anggap robot, ya silakan saja," jelasnya. Jm

Entitas terkaitAparat | Bandung | Berbenturan | Karakter | Pesan | Popo | Satpol | Sebagian | Sebenarnya | Sifat | TEMBOK | Udah | New York | Daerah Istimewa Yogyakarta | Satpol Pamong Praja | Satpol PP Jadi Momok |
Ringkasan Artikel Ini
Meski kerap berbenturan de- ngan aparat, para pelaku seni jalanan itu tetap mcngekpresikan karya mereka melalui seni lukis dinding atau seni murai serta grafiti, yang berisi pesan moral untuk menggugah kesadaran masyarakat. Sifat murai, yang penuh ketelitian dalam pengerjaannya, memunculkan kesan sempurna yang berbeda dengan grafiti atau bentuk seni jalanan lain yang sifatnya cepat digores-kan pada tembok dan cenderungmenggunakan cat semprot atau piloks. Menurut informasi, perkembangan komunitas grafiti di Jakarta juga kian menggeliat seiring dengan referensi visual yang mudah didapat dari internet, buku-buku terbitan luar negeri yang menjamur, pun dari hasil diskusi dengan sesama komunitas dari Daerah Istimewa Yogyakarta dan Bandung yang lebih dulu memulai kegiatan ini sejak tahun 2.000-an.